Minggu, 16 Januari 2011

Gara-Gara Lupa Nama Sendiri, Rp 1,4 Miliar Melayang

SEOUL – Pria ini sebenarnya kaya dengan uang tabungan sebesar USD135.000 atau lebih dari Rp1,4 miliar di bank.
SEOUL – Pria ini sebenarnya kaya dengan uang tabungan sebesar USD135.000 atau lebih dari Rp1,4 miliar di bank. Namun malang, lantaran dia lupa nama asli saat dilahirkan, bank membekukan rekeningnya.
Sampai akhir hayatnya pun pria Korea Selatan yang diyakini berusia 56 tahun itu, tidak bisa menikmati uangnya sendiri. Pria itu membuka rekening pada awal 1993 dengan menggunakan nama samaran Na Hae Dong.

Beberapa bulan kemudian, rekeningnya dibekukan seiring dengan pemberlakuan peraturan pemerintah yang menyatakan rekening yang dibuka dengan nama palsu akan dibekukan. Peraturan itu dibuat untuk menekan angka korupsi.

Dia sebenarnya memiliki kesempatan untuk melakukan registrasi rekening ulang dengan mengganti dengan nama sesuai dengan akte kelahirannya. Namun “Na” tidak dapat mengingat nama lahirnya.
“Dia tidak mengetahui siapa nama sebenarnya saat lahir. Kami mencoba namun gagal mengidentifikasi dirinya,” kata Yoo Joon Soo, pejabat senior di distrik Yongbong.

Sejak rekening dibekukan, “Na” bekerja sebagai pemulung dengan mengumpulkan besi bekas dan barang-barang loak. Kereta pedati menjadi rumah berjalannya dan setiap malam Na hanya tidur beralaskan lembaran plastik. Baru pada 2007, dia mendapat tempat tinggal yang agak mendingan, yaitu sebuah kontainer.


Namun perjuangan untuk mengambil haknya itu tidak pernah surut. “Dia pernah bilang akan menggunakan tabungan itu untuk membeli rumah,” papar Yoo.

Bulan lalu, kami mengajukan izin ke pengadilan untuk membuat identitas baru atas “Na”. Proses itu masih berjalan. Namun “Na” meninggal sebelum keinginannya memiliki rumah terwujud. Akhirnya, pengadilan memerintahkan untuk memberikan uang itu kepada negara.
Namun malang, lantaran dia lupa nama asli saat dilahirkan, bank membekukan rekeningnya.
Sampai akhir hayatnya pun pria Korea Selatan yang diyakini berusia 56 tahun itu, tidak bisa menikmati uangnya sendiri. Pria itu membuka rekening pada awal 1993 dengan menggunakan nama samaran Na Hae Dong.

Beberapa bulan kemudian, rekeningnya dibekukan seiring dengan pemberlakuan peraturan pemerintah yang menyatakan rekening yang dibuka dengan nama palsu akan dibekukan. Peraturan itu dibuat untuk menekan angka korupsi.

Dia sebenarnya memiliki kesempatan untuk melakukan registrasi rekening ulang dengan mengganti dengan nama sesuai dengan akte kelahirannya. Namun “Na” tidak dapat mengingat nama lahirnya.
“Dia tidak mengetahui siapa nama sebenarnya saat lahir. Kami mencoba namun gagal mengidentifikasi dirinya,” kata Yoo Joon Soo, pejabat senior di distrik Yongbong.

Sejak rekening dibekukan, “Na” bekerja sebagai pemulung dengan mengumpulkan besi bekas dan barang-barang loak. Kereta pedati menjadi rumah berjalannya dan setiap malam Na hanya tidur beralaskan lembaran plastik. Baru pada 2007, dia mendapat tempat tinggal yang agak mendingan, yaitu sebuah kontainer.


Namun perjuangan untuk mengambil haknya itu tidak pernah surut. “Dia pernah bilang akan menggunakan tabungan itu untuk membeli rumah,” papar Yoo.

Bulan lalu, kami mengajukan izin ke pengadilan untuk membuat identitas baru atas “Na”. Proses itu masih berjalan. Namun “Na” meninggal sebelum keinginannya memiliki rumah terwujud. Akhirnya, pengadilan memerintahkan untuk memberikan uang itu kepada negara.
SEOUL – Pria ini sebenarnya kaya dengan uang tabungan sebesar USD135.000 atau lebih dari Rp1,4 miliar di bank. Namun malang, lantaran dia lupa nama asli saat dilahirkan, bank membekukan rekeningnya.
Sampai akhir hayatnya pun pria Korea Selatan yang diyakini berusia 56 tahun itu, tidak bisa menikmati uangnya sendiri.
SEOUL – Pria ini sebenarnya kaya dengan uang tabungan sebesar USD135.000 atau lebih dari Rp1,4 miliar di bank. Namun malang, lantaran dia lupa nama asli saat dilahirkan, bank membekukan rekeningnya.
Sampai akhir hayatnya pun pria Korea Selatan yang diyakini berusia 56 tahun itu, tidak bisa menikmati uangnya sendiri. Pria itu membuka rekening pada awal 1993 dengan menggunakan nama samaran Na Hae Dong.

Beberapa bulan kemudian, rekeningnya dibekukan seiring dengan pemberlakuan peraturan pemerintah yang menyatakan rekening yang dibuka dengan nama palsu akan dibekukan. Peraturan itu dibuat untuk menekan angka korupsi.

Dia sebenarnya memiliki kesempatan untuk melakukan registrasi rekening ulang dengan mengganti dengan nama sesuai dengan akte kelahirannya. Namun “Na” tidak dapat mengingat nama lahirnya.
“Dia tidak mengetahui siapa nama sebenarnya saat lahir. Kami mencoba namun gagal mengidentifikasi dirinya,” kata Yoo Joon Soo, pejabat senior di distrik Yongbong.

Sejak rekening dibekukan, “Na” bekerja sebagai pemulung dengan mengumpulkan besi bekas dan barang-barang loak. Kereta pedati menjadi rumah berjalannya dan setiap malam Na hanya tidur beralaskan lembaran plastik. Baru pada 2007, dia mendapat tempat tinggal yang agak mendingan, yaitu sebuah kontainer.


Namun perjuangan untuk mengambil haknya itu tidak pernah surut. “Dia pernah bilang akan menggunakan tabungan itu untuk membeli rumah,” papar Yoo.

Bulan lalu, kami mengajukan izin ke pengadilan untuk membuat identitas baru atas “Na”. Proses itu masih berjalan. Namun “Na” meninggal sebelum keinginannya memiliki rumah terwujud. Akhirnya, pengadilan memerintahkan untuk memberikan uang itu kepada negara.
Pria itu membuka rekening pada awal 1993 dengan menggunakan nama samaran Na Hae Dong.

Beberapa bulan kemudian, rekeningnya dibekukan seiring dengan pemberlakuan peraturan pemerintah yang menyatakan rekening yang dibuka dengan nama palsu akan dibekukan. Peraturan itu dibuat untuk menekan angka korupsi.

Dia sebenarnya memiliki kesempatan untuk melakukan registrasi rekening ulang dengan mengganti dengan nama sesuai dengan akte kelahirannya. Namun “Na” tidak dapat mengingat nama lahirnya.
“Dia tidak mengetahui siapa nama sebenarnya saat lahir. Kami mencoba namun gagal mengidentifikasi dirinya,” kata Yoo Joon Soo, pejabat senior di distrik Yongbong.

Sejak rekening dibekukan, “Na” bekerja sebagai pemulung dengan mengumpulkan besi bekas dan barang-barang loak. Kereta pedati menjadi rumah berjalannya dan setiap malam Na hanya tidur beralaskan lembaran plastik. Baru pada 2007, dia mendapat tempat tinggal yang agak mendingan, yaitu sebuah kontainer.


Namun perjuangan untuk mengambil haknya itu tidak pernah surut. “Dia pernah bilang akan menggunakan tabungan itu untuk membeli rumah,” papar Yoo.

Bulan lalu, kami mengajukan izin ke pengadilan untuk membuat identitas baru atas “Na”. Proses itu masih berjalan. Namun “Na” meninggal sebelum keinginannya memiliki rumah terwujud. Akhirnya, pengadilan memerintahkan untuk memberikan uang itu kepada negara.

sumber: taukahkamu.com



Arsip Blog

CEWEK BOKINGAN HOTEL

CEWEK BOKINGAN HOTEL
klik hotelnya untuk boking

Label